Selasa, 09 Juli 2013

Museum budaya Ullen Sentalu, Yogyakarta


1.      MUSEUM BUDAYA ULLEN SENTALU, YOGYAKARTA
A.       Sejarah Museum Budaya Ullen Sentalu, Yogyakarta
Museum Ullen Sentalu merupakan sebuah museum swasta milik Yayasan Ulating Blencong yang berada di kawasan wisata Lereng Gunung Merapi, Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pembangunan museum ini mulai dirintis pada tahun 1994 berkat inisiatif  keluarga Haryono yang bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Jawa, terutama kain batik. Pada 1 Maret 1997 museum yang berdiri di atas tanah yang bernama Taman Kaswargan ini diresmikan oleh KGPAA Paku Alam VIII, selaku gubernur DIY. Di tanah itulah dulu terjadi peristiwa yakni kembalinya Yogyakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia dari genggaman Belanda pada tahun 1949.
Mengapa berdirinya Ullen Sentalu berada di lereng gunung? Alasannya karena dalam pandangan filosofis masyarakat Jawa, gunung memiliki nilai mistik, di Taman Kaswargan yang letaknya tinggi (Lereng Gunung Merapi) inilah yang dipilih sebagai tempat berdirinya Ullen Sentalu. Museum ini secara implisit juga ingin menyampaikan berbagai hal yang direkam, dipamerkan dan dikisahkan dalam tujuh ruang eksposisinya merepresentasikan keagungan warisan budaya Jawa.
Nama Ullen Sentalu itu sendiri merupakan akronim dari “Ulating Blencong, sejatine tataraning lumaku” yang artinya“Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan” . Jadi, museum ini berfungsi bak lampu penerang bagi kebudayaan Jawa yang kian meredup dan terkikis oleh kemajuan zaman. Intinya museum ini memiliki misi sebagai wahana pelestarian kebudayaan Jawa masa lalu yang luhur. Filsafah ini diambil dari sebuah lampu minyak yang dipergunakan dalam pertunjukan wayang kulit (blencong) yang merupakan cahaya yang selalu bergerak untuk mengarahkan dan menerangi perjalanan hidup kita.
Museum bergaya arsitektur gothic[1] ini menampilkan kebudayaan masyarakat masa lalu melalui berbagai dokumentasinya, seperti batik dengan berbagai corak, pakaian, lukisan-lukisan dan foto-foto tentang budaya dan tokoh Jawa. Ruang-ruang ekshibisi di museum ini juga menjadi sebuah perekam berbagai peristiwa atau kejadian di masa lalu.
Peristiwa yang dimaksud lebih mengarah pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para bangsawan dari empat keraton di Solo dan Yogyakarta, yaitu Kasunanan Surakarta, Istana Mangkunegara Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman Yogyakarta.

B.   Keistimewaan Museum Budaya Ullen Sentalu
Museum yang dari luar tampak seperti bangunan istana kuno di Eropa ini mempunyai keistimewaan, keistimewaan itu dapat dilihat dari arsitektur bangunan, ruang-ruang pameran, display koleksi dengan berbagai keanegaragaman bendanya dan cara pemandu museum dalam menarasikan pesan-pesan pada display museum ini.
Arsitektur museum bangunan ini mengambil rancang-bangun istana yang ada di Eropa abad pertengahan yang lekat dengan gaya gothic, dengan penampilan seperti itu menjadikan museuam ini sangat khas dan berbeda dengan museum-museum yang ada selama ini, baik di Yogyakarta maupun di Indonesia.
Selain model rancang-bangunnya, display di museum ini juga menakjubkan lantaran dikerjakan oleh kurator museum yang profesional. Hal ini bisa dibuktikan dari penataan koleksi-koleksi benda dalam ruang-ruang, etalase-etalase, rak-rak dan meja maupun foto-foto dan lukisan-lukisan yang menempel pada dinding museum. Penataan ini dipercantik dengan sistem pencahayaan (spot light) yang baik, sehingga penampilan koleksi pada tiap ruangan menjadi istimewa dan mampu menghadirkan kesan tertentu.
Ruangan yang ada di Museum Ullen Sentalu:
1)    Pada saat berkunjung, pengunjung yang datang akan didampingi satu pemandu untuk menyusuri jalan setapak menuju ruangan pertama museum yang berusia satu dekade, yakni Guo Selo Giri, di gua ini pengunjung akan melihat foto-foto, lukisan-lukisan pangeran dan putri keraton, serta gamelan-gamelan yang digunakan pada masa kerajaan dulu. Dengan didampingi pemandu yang menjelaskan bagaimana kejadian masa lalu serta perjalanan kehidupan kerajaan, perjalanan pun terasa semakin menarik.
2)    Usai di Guo Selo Giri, pengunjung akan diajak untuk menyaksikan ekshibisi di Kampung Kambang, yakni satu area terapung (dikelilingi air) di atas Guo Selo Giri yang terdapat lima ruang pameran, yakni Ruang Putri Tineke, di ruangan ini pengunjung dapa menyakskan surat-surat Putri Tineke, Ruang Paes Ageng Gaya Yogyakarta,di sini pengunjung dapat menyaksikan lukisan rias pengantin Jawa (Solo dan Yogyakarta), Ruang Batik Vorstendlanden, Ruang Batik Pesisiran dan Ruang Putri Dambaan (Gusti Nurul Koesoemawardhani) yang menolak untuk poligami.
3)    Taman Arca Durga yang merupakan ruang pameran terakhir pada Museum Ullen Sentalu, sepanjang jalan pengunjung akan melihat patung-patung temuan asli, satu contoh Ganesa sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan yang mempunyai empat tangan dengan cawan di tangan kirinya untuk menangkap ilmu kemudian dimasukkan ke dalam perutnya yang besar dan bunga teratai berada pada tangan kanan sebagai simbol keabadian terus tangan ke kanan atas seperti tasbih untuk melatih konsentrasi dan yang sebelah kiri membawa kapak sebagai simbol pemutusan kebodohan, ia merupakan putra dari Dewa Siwa Maha Kala si penguasa waktu.
Di sebelah kiri pintu masuk terdapat relief  Borobudur yang di sebut sebagai relief Gandawiyuha. Kemudian masuk   ruang lukisan hubungan bilateral antara Panglima Charlez dengan Putri Diana (1989), di sana digambarkan adanya penari-penari sebagai simbol penerimaan tamu, ada juga patung pengantin Jawa dan lukisan-lukisan.
Setelah selesai keliling, pengunjung disuguhi segelas minuman ramuan khas keraton yang konon dipercaya dapat membangkitkan semangat dan memulihkan stamina yang telah terkuras selama berkeliling, rasa ramuan itu sendiri hampir mirip dengan wedang jahe. Kemudian pengunjung dipersilahkan untuk menikmati suasana di Lereng Gunung Merapi dengan kicauan burung dan sejuknya suasana menambah perjalanan semakin menyenangkan.

C.   Lokasi, Akomodasi dan fasilitas Museum Budaya Ullen Sentalu
Museum Ullen Sentalu terletak di Jalan Boyong, Kaliurang, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Lereng Gunung Merapi. Akomodasi dan fasilitas yang disediakan di museum ini antara lain seorang pemandu wisata yang anggun, cerdas dan santun dalam bertutur-kata, fasih berbahasa Inggris, Jepang dan Perancis.
Di sekitar lokasi terdapat restoran Beukenhof bagi pengun jung yang ingin menyantap masakan dengan nuansa Istana dipadukan dengan suasana Eropa. Selain itu, terdapat Putri Malu Souvenir Shop sebagai tempat wisatawan membeli buah tangan berupa pernak-pernik hasil kerajinan lokal maupun kain-kain batik khas Jogja dan Solo.
Fasilitas umum lainnya yang disediakan museum ini di antaranya berupa toilet yang bersih, taman yang asri, Djagat Acadimic Modern Art Galery sebagai ruang pameran para artis (pelukis atau perupa) muda, dan mushola.
 
http://jogjatrip.com/id/263/Museum-Ullen-Sentalu
  


[1] Kastil yang disusun sedemikian rupa dengan tumpukan batu-batu gunung berwarna gelap dan dihiasi berbagai tumbuhan merambat.

"Watu Celeng" Rembang


WATU CELENG
Cerita rakyat dari Rembang Jawa Tengah

Berawal dari perjalanan Noyo Gimbal atau Noyo Sentiko, tokoh yang terkenal di Kabupaten Rembang. Ketika para wali sedang giat-giatnya menyebarkan agama Islam di pesisir utara pulau Jawa, terlihatlah seorang petapa yang bernama Noyo Gimbal, kegiatan pertapaannya tersebut dimaksudkan untuk mendapat kesaktian dari Tuhan Yang Maha Esa, ia ingin mendapat kesaktian yang bisa mengusir penjajah Belanda pada waktu itu.
Noyo Gimbal sendiri adalah salah seorang prajurit dari Pangeran Diponegoro yang sangat benci kepada penjajah Belanda. Setelah Pangeran Diponegoro tertangkap oleh penjajah Belanda, para prajuritnya termasuk Noyo Gimbal mengembara kemana-mana. Sedangkan nama Noyo Gimbal sendiri adalah nama julukan dikarenakan rambutnya tidak pernah diurus dan memanjang mulai ia muda hingga ia tua.
Dalam perjalanannya, Noyo Gimbal bersama pengikut-pengikutnya bermaksud mengajak orang-orang untuk melawan penjajah Belanda, berhubung  Wedana Sedan yang juga bersekutu dengan Belanda yang berkuasa di tempat itu, maka peperangan antara Noyo Gimbal dengan Wedana Sedan pun terjadi. Disusul kedatangan Belanda yang membawa banyak persenjataan, akhirnya Noyo Gimbal memilih untuk melarikan diri. Dalam pelariannya ia melihat banyak kayu glondong atau balok yang dikumpulkan Belanda menjadi satu untuk dibawa ke suatu tempat, Sehingga tempat itu pun dinamakan “Balokan” kini termasuk wilayah desa karas Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang.
Selanjutnya Noyo Gimbal beserta para pengikutnya melanjutkan pelariannya, supaya tidak tertangkap oleh prajurit Belanda yang mengejar mereka, di tengah perjalanan pengikut Noyo Gimbal melihat seekor babi hutan yang menghadang pelarian mereka, dengan cepatnya mereka melapor ke Noyo Gimbal, oleh Noyo Gimbal babi itu di sebut batu karena merupakan penghalang perjalanan mereka yang dalam bahasa Jawa “iku watu dudu Celeng”. Anehnya setelah kata-kata itu terlontar dari mulut Noyo Gimbal, seketika babi itu berubah menjadi batu, hingga sekarang seekor babi hutan yang berubah menjadi batu itu pun masih bisa kita jumpai di Dukuh Ngaglik termasuk Desa Majasari Kecamatan Sedan.
Masih banyak cerita yang tersimpan di setiap tempat, dan ini termasuk salah satu cerita dari Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang yang dipercaya kebenarannya hingga sekarang masih bisa dilihat wujud atau buktinya.
Sumber: Buku Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang jilid 2

Tradisi "Ngalungi Sapi" Rembang


TUGAS
FOLKLOR
TRADISI “NGALUNGI SAPI”
                                                Disusun Oleh :
                                                 MUFIDAH
                                       NIM : 13010112130085/B
JURUSAN: SASTRA INDONESIA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS ILMU BUDAYA
 2013

Dalam bahasa Indonesia “Ngalungi Sapi” artinya memberi kalung pada sapi, memberi kalung di sini bukan berarti kalung emas seperti yang dipakai pada orang-orang umunya, melainkan membuat ketupat yang kemudian diisi dengan beras dan dimasak hingga berjam-jam. Setelah ketupat itu masak, kemudian ketupat didoakan bersama-sama di Musholla maupun di Masjid yang merupakan tempat suci untuk berdoa orang-orang muslim.
Dahulu orang-orang  melaksanakan tradisi “Ngalungi sapi” dengan memberi kalung ketupat yang khusus dibuat untuk dikalungkan pada sapi, ketupat itu bentuknya tidak sama dengan ketupat yang biasanya kita ketahui, dan ukurannya sesuai dengan daun kelapa yang dipakai. Tetapi kebiasaan itu hilang bersama perkembangan zaman, dan pola pikir masyarakat juga ikut berubah.
Tradisi “Ngalungi Sapi” masih berlangsung di Desa Kumbo, Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang, hingga sekarang masih terus dilaksanakan dan berlangsungnya pada hari Jumat Kliwon. Pada hari itu juga dilaksanakan pahingan di Masjid yang diikuti oleh orang-orang perempuan (Muslimat).
Sesuai observasi yang telah penulis laksanakan, pada saat melakukan doa bersama ketupat yang akan didoakan di letakkan di ember dan ditutup dengan daun pisang yang masih ada batangnya kemudian dihadapkan sama, artinya jika yang satu menghadap ke arah Barat maka yang lain menyesuaikan.
Semarang , 24 Juni 2012     

Penulis

B.     Rumusan Masalah 5
D.    Tujuan 6
E.     Manfaat 6
A.    Pengertian 7








Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat serta hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Tradisi Ngalungi Sapi” sesuai waktu yang telah ditentukan, pengambilan tema yang belum pernah diangkat oleh penulis lain membuat penulis semakin semangat dalam mengerjakannya, dan penulis juga langsung melakukan observasi untuk kevalidan data.
Ucapat terimakasih tidak lupa penulis sampaikan kepada para informan yaitu Bapak Dasiran, Bapak Kurdi, Ibu Fathonah, Bapak Dasuri, Ibu Sarminah dan Ibu Siti yang semuanya telah menyediakan waktunya untuk diwawancarai sesuai dengan kepentingan penulis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan semuanya dijawab dengan baik.
Dengan tema ini, penulis dapat mengetahui salah satu tradisi yang ada di Desa Kumbo Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang yaitu “Tradisi Ngalungi Sapi”. Masih banyak kegiatan lain yang belum sempat penulis paparkan satu per satu, jadi masih ada kesempatan untuk pembaca yang berminat mengkajinya.
Penulis sadar dalam Makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dalam penulisan maupun susunannya, untuk itu diharapkan kritik dan saran yang membangun supaya dalam pembuatan Makalah selanjutnya dapat diperbaiki.

Semarang, 24 Juni 2012

                                                                        Penulis



Banyak permasalahan di antara kita yang belum diketahui makna dan tujuan apa yang ada di dalamnya, padahal seharusnya semua yang dilakukan harus diketahui dampak maupun keuntungan yang akan diperoleh. Jika kita mengetahui hal itu maka akan meningkatkan ketaatan kita terhadapnya.
Alasan mengapa saya mengangkat judul “Tradisi Ngalungi Sapi” ini karena merupakan suatu tradisi yang ada di desa tempat tinggal saya yaitu Desa Kumbo Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang, dimaksudkan supaya makna dan tujuan yang ada di dalam  tradisi itu diketahui masyarakat setempat khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Jadi sesuatu yang ada di antara kita harus diketahui makna dan tujuan serta keuntungan dan kerugiannya, karena suatu saat nanti pasti akan berguna jika ada anak turun kita yang membutuhkan penjelasan mengenai hal itu, dan makalah ini diharapkan dapat menjadi jembatan dalam melewati hal-hal yang kelak akan terjadi.


Sehubungan dengan pengambilan judul di atas, maka rumusan masalah yang hendak dijawab adalah:
1.    Apa yang dimaksud dengan Tradisi “Ngalungi Sapi”?
2.    Bagaimana kedudukan dan fungsi Tradisi “Ngalungi Sapi” di dalam pandangan masyarakat setempat?
3.    Kapan dan di mana Tradisi “Ngalungi Sapi” dilaksakan?
4.    Apa makna dan tujuan dari tradisi tersebut?
5.    Siapa saja yang terlibat dalam proses pelaksanaan kegiatan tradisi tersebut?


Sesuai dengan tugas yang dipercayakan oleh dosen pengampu, yaitu pengumpulan data dengan cara wawancara langsung kepada masyarakat yang bersangkutan, dan menyimpulan hasil dari wawancara tersebut tercatat dalam buku harian sesuai dengan format yang telah ditentukan. kemudian hasilnya saya simpulkan sendiri hingga menjadi makalah. Dalam pengumpulan data tentang Tradisi “Ngalungi Sapi” ini saya lengkapi dengan observasi langsung pada saat kegiatannya, berhubung tradisi ini ada di tempat tinggal saya, dengan mudah saya memahami dan menjalankan proses pengumpulan data.


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.    Guna memenuhi tugas Mata Kuliah Folklor.
2.    Mengapresiasi tradisi yang telah ada agar tetap berkembang.
3.    Memperkenalkan kepada masyarakat umum tentang Tradisi “Ngalungi Sapi”.


1.    Terpenuhinya tugas yang telah dipercayakan oleh dosen pengampu.
2.    Masyarakat dapat mengetahui kedudukan dan fungsi Tradisi “Ngalungi Sapi”.
3.    Menambah ilmu dan pengalaman dari wawancara langsung kepada penduduk asli, karena itu merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan.
4.    Terwujudnya keinginan untuk menulis dan mempublikasikan tradisi sendiri.

A.       Pengertian

Tradisi “Ngalungi Sapi” termasuk dalam jenis kegiatan ritual yaitu aktivitas simbolik  yang dilakukan untuk kepentingan seseorang atau kelompok orang (masyarakat) oleh karena alasan-alasan tertentu, seperti memperingati/atau terjadinya peristiwa penting atau mengantisipasi peristiwa-peristiwa tertentu yang dianggap negatif.
“Ngalungi Sapi”, kata “Ngalungi” berarti memberi kalung, dan “Sapi” adalah hewan sapi yang biasa kita ketahui. Sehingga  “Ngalungi Sapi” bisa diartikan sebagai memberi kalung pada sapi, memberi kalung di sini bukan berarti kalung emas yang biasanya dipakai orang-orang  pada umumnya melainkan kalung ketupat yang khusus dibuat untuk dikalungkan pada leher sapi.
Menurut sebagian masyarakat modern “Ngalungi Sapi” tidak harus memberi kalung ketupat seperti yang dimaksudkan di atas, melainkan hanya ritual yang dilakukan untuk sapi-sapi mereka dan harta yang dimilikinya supaya diberikan berkah, kesehatan, beranak-pinak dan keselamatan oleh Allah swt, hal itu dilakukan dalam doa-doa bersama dengan cara membawa ketupat delapan sampai sepuluh biji disertai sayur sebagai pelengkap dan dibawa ke Masjid atau Musholla, begitu penjelasan dari salah seorang penduduk setempat.
Berbeda dengan orang tradisional atau orang jaman dahulu “Ngalungi Sapi” berarti memberi kalung pada sapi dengan cara membuatkan kalung ketupat khusus kemudian dikalingkan pada sapinya sesuai dengan pengertian di atas. Selain itu mereka juga membuat ketupat kemudian diisi dengan beras dan dimasak sampai berjam-jam lalu didoakan bersama-sama.


Seperti yang kita ketahui bahwa sebuah tradisi berlangsung secara turun-temurun selama itu masih diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan.  Hal ini sesuai dengan Tradisi “Ngalungi Sapi” yang ada di Desa Kumbo, Rembang, tetapi ada sedikit perbedaan dalam hal keyakinan, jika masyarakat zaman dahulu memberi kalung pada sapinya dengan keyakinan bahwa sapi yang dikalungi akan beranak-pinak menjadi banyak dan selamat, masyarakat sekarang tidak memberi kalung ketupat melainkan hanya mendoakan, karena diyakini bahwa doalah yang bisa mengantarkan permintaan mereka kepada Allah untuk dikabulkan.
Tradisi tidak selamanya berlangsung secara statis melainkan secara dinamis, karena pemikiran antara orang dahulu dengan orang sekarang memiliki perbedaan, meskipun demikian tidak menghapus tradisi yang sudah ada sejak dulu, masyarakat Desa Kumbo masih tetap melaksanakan tradisi itu, hanya saja proses pelaksanaannya yang berbeda.
Mengingat betapa pentingnya melestarikan tradisi-tradisi peninggalan nenek moyang, maka perlu diketahui fungsinya, yaitu:
a)      Menjaga dan melestarikan agar tradisi yang telah ada tidak punah,
b)      Mengajarkan untuk tetap percaya dan yakin pada Allah swt, dengan mengamalkan doa-doa sebagai jembatan,
c)      Sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas rizki yang telah Allah berikan.

 

 


Kegiatan “Ngalungi Sapi” ini berlangsung di Desa Kumbo Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang, tepatnya setelah panenan[1], pada hari Jumat Pahing[2] setelah selesai sholat maghrib. Seperti halnya sebuah keharusan, kegiatan “Ngalungi Sapi” ini berjalan secara turun-temurun dari ajaran Sunan Kalijaga, dan jika tidak dilakukan dirasa ada hal yang kurang dan tidak lengkap rasa syukur kita terhadap rizki yang telah Allah berikan, begitu kata salah satu penduduk desa tersebut.
Perlu diketahui juga kegiatan ini dilakukan di Masjid dan di Musholla yang dianggap sebagai tempat suci untuk memanjatkan doa, karena orang-orang percaya bahwa Allah menyukai tempat-tempat yang suci dan akan mudah dikabulkannya doa yang dipanjatkan.


a)    Makna yang terkandung dari Tradisi “Ngalungi Sapi”
Alasan mengapa hanya sapi yang “dikalungi” padahal yang kita ketahui banyak hewan-hewan yang lain yang dipelihara masyarakat, hal ini dikarenakan sapi dianggap sebagai rojokoyo (harta berharga) yang mempunyai nilai jual tinggi dan cepat berkembang sebagai simpanan kekayaan masyarakat setempat, terbukti jika seseorang mempunyai banyak sapi maka dia dianggap orang kaya.
Selain alasan tersebut, sapi dapat membantu pekerjaan manusia, misal saja ketika hendak menanam padi, sawah yang masih kosong dialiri air yang cukup kemudian dibajak dengan sapi, kotoran sapi juga bisa digunakan sebagai pupuk alami tanpa harus membeli pupuk kimia, sapi juga bisa membantu membawa barang-barang yang berat dengan gerobak, jadi bisa dikata sapi banyak berguna dalam membantu manusia dan sudah selayaknya jasa sapi dihargai.
Selain sebagai kegiatan turun-temurun dari nenek moyang, Tradisi “Ngalungi Sapi” yang menggunakan ketupat juga mempunyai makna tersendiri, yaitu daun kelapa yang digunakan sebagai bahan pembuatan ketupat diambil dari pohon kelapa yang juga mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan manusia, misal pohonnya bisa digunakan sebagai pembuatan rumah, dipakai api buat memasak, lidinya diapaki sapu dan daun yang kering dipakai sebagai api masak, sedangkan daun yang masih muda dipakai sebagai ketupat dan diisi dengan beras yang juga kembali ke sapi yang mempunyai peran dalam kegiatan penanaman padi, jadi banyak keterkaitan antara prosesnya.
Kegiatan dilakukan di Masjid dan di Musholla juga mempunyai makna seperti yang telah disebut di atas, bahwa tempat-tempat itu merupakan tempat yang suci yang digunakan untuk kegiatan peribadatan yang lain, misal pahingan[3]. Kemudian ketupat yang sudah masak dan siap untuk didoakan bersama tersebut di letakkan di ember dan ditutup dengan daun pisang yang ada batangnya lalu di hadapkan searah, artinya jika yang lain menghadap ke arah Barat, maka yang lain menyesuaikan, karena dipercaya bahwa orang yang berdoa akan lancar jika sesuai dengan persyaratan tersebut.
b)   Tujuan Dilakukannya Tradisi “Ngalungi Sapi”
Berdoa supaya sapinya sehat, selamat dari marabahaya dan beranak-pinak menjadi banyak, juga untuk melestarikan tradisi peninggalan nenek moyang, ada yang bilang tradisi ini peninggalan dari Sunan Kalijaga. Tujuan lain supaya berkah harta benda yang telah Allah titipkan, dan juga untuk mendoakan masyarakat semua supaya tetap damai, sehat, dan dimudahkan jalan rizkinya.


Tidak semua masyarakat terlibat dalam hal ini, karena orang yang tidak mempunyai sapi tidak ikut membuat ketupat dan biasanya diberi oleh tetangga dekat. Tradisi ini termasuk dalam jenis ritual komunal karena kebanyakan masyarakat masih menjalankannya. Ritual ini dijalankan sesuai dengan kepercayaan masyarakat sekarang, sehingga terdapat sedikit perbedaan dengan masyarakat dahulu.
Tetapi maksud dan tujuannya sama, yaitu sama-sama berdoa kepada Allah supaya sapi dan kekayaan yang lain diberi keselamatan, kesehatan dan berkah rizkinya, serta masyarakat desa tersebut diberi kemudahan serta pertolongan oleh Allah kelak di hari akhir.










Tradisi “Ngalungi Sapi” ini merupakan salah satu tradisi asli Desa Kumbo, Rembang,  yaitu sejenis dengan ritual komunal untuk mendoakan sapi-sapi yang telah membantu pekerjaan masyarakat dalam membajak sawah dan lain sebagainya, sehingga dilakukan ketika selesai panenan.
Walaupun mengalami perbedaan dengan yang dilakukan masyarakat dahulu, tetapi perbedaan itu tidaklah hal yang berdampak negatif, semua maksud dan tujuannnya sama yaitu sama-sama berdoa, baik untuk sapinya maupun untuk warga desa tersebut, dan hal  yang berbeda hanyalah tata caranya. Karena apa yang dilakukan masyarakat sekarang merupakan kelanjutan dari tradisi masyarakat terdahulu, sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya maka terjadi perbedaan itu.
Tradisi “Ngalungi Sapi” ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sapi dengan cara membuat ketupat yang diisi dengan beras kemudian dimasak sampai berjam-jam, lalu didoakan bersama di Masjid atau Musholla yang dianggap sebagai tempat suci dan tempat yang pas buat beribadah, kegiatan ini dilakukan setelah sholat maghrib. Makna dan tujuan yang terkandung dalam tradisi ini adalah memberi penghargaan atau brokohan (sedekahan) kepada sapi yang telah berjasa dalam membantu kegiatan manusia, supaya diberi kesehatan, keselamatan dan beranak-pinak menjadi banyak, serta harta yang dimiliki diberkahi oleh Allah swt, selain itu doa juga dipanjatkan untuk leluhur dan masyarakat semuanya.
Semua tradisi mempunyai makna, jika tidak dipelajari maka makna itu akan diremehkan bahkan bisa juga luntur, sehingga perlu adanya apresiasi masyarakat dalam mendukung serta melestarikan tradisi yang telah ada.

Nama: Dasiran
Alamat: Ds.Kumbo Kec. Sedan Kab. Rembang (RT: 09 RW: 05)
Tempat dan tanggal lahir: Rembang, 29 April 1954
Pekerjaan: Petani
Tanggal wawancara: Sabtu, 22 Juni 2013 (13:42 WIB)
Hasil wawancara: Tradisi “Ngalungi Sapi” dilakukan setiap selesai panenan pada hari Jumat Pahing dengan menggunakan ketupat yang sudah masak lalu dibawa ke Masjid atau Musholla, kata “Ngalungi Sapi” adalah sebuah simbol bahwa sapi perlu dihargai atas jasanya yang telah banyak membantu pekerjaan manusia dengan cara mendoakannya, bukan ngalungi dengan seperti kalung yang dipakai manusia, itu hanya ungkapan syukur, dan disebut “ngalungi” karena orang zaman dahulu/leluhur memang benar-benar mengalungkan ketupat khusus pada sapi. Mengapa menggunakan ketupat karena ketupat yang dapat dikalungkan pada sapinya.

Nama: Kurdi
Alamat: Ds.Kumbo Kec. Sedan Kab. Rembang (RT: 10 RW: 05)
Tempat dan tanggal lahir: Rembang, 9 Mei 1952
Pekerjaan: Petani
Tanggal wawancara: Selasa, 25 Juni 2013 (18:30 WIB)
Hasil wawancara: “Ngalungi Sapi” adalah tradisi turun-temurun, dilakukan setelah panen dan dimaksudkan sebagai wujud syukur atas rizki yang telah Allah berikan, dengan tujuan supaya sapinya selamat, sehat serta bertambah banyak. Jika orang dahulu ketupat dikalungkan di leher sapi, tetapi orang sekarang tidak karena lebik baik dimakan bersama-sama oleh orangnya.

Nama: Fathonah
Alamat: Ds.Kumbo Kec. Sedan Kab. Rembang (RT: 10 RW: 05)
Tempat dan tanggal lahir: Rembang, 19 Juli 1969
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Tanggal wawancara: Selasa, 25 Juni 2013 (20:00 WIB)
Hasil wawancara: Ketupat yang dibawa delapan sampai sepuluh, Ketupat-ketupat tersebut dibawa ke Masjid atau Musholla untuk didoakan bersama, ketika hendak didoakan ditata sama, artinya menghadapkannya sesuai dengan ujung daun yang dipakai tutup disamakan, supaya ketika berdoa diberi kelancaran. Dalam doa tersebut diharapan rizki yang dimiliki barokah dan sapinya diberi kesehatan, keselamatan serta bernak-pinak. Pada zaman dahulu ketupat dikalungkan pada sapi tetapi sekarang tidak. Tidak semua orang terlibat dalam ritual ini, hanya orang-orang yang mempunyai sapi yang ikut serta.

Nama: Dasuri
Alamat: Ds.Kumbo Kec. Sedan Kab. Rembang (RT: 07 RW: 04)
Tempat dan tanggal lahir: Rembang. 12 April 1991
Pekerjaan: wiraswasta
Tanggal wawancara: Sabtu, 22 Juni 2013 (19:30 WIB)
Hasil wawancara: Tradisi “Ngalungi Sapi” merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga, tidak diketahui pasti sejak tahun berapa, tetapi tradisi ini masih dilakukan sampai sekarang, karena kepercayaan masyarakat terhadap hal yang baik. Tradisi ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sapi, ada yang melakukan ritual ini dengan cara mengoleskan ketupat ke kepala sapi, dengan maksud walaupun tidak ikut makan tetapi ikut melihat. Ketupat yang telah masak dibawa ke Masjid dan Musholla untuk didoakan bersama-sama, supaya diberi keselamatan, kesehatan dan merupakan wujud syukur atas rizki Allah.

Nama: Sarminah
Alamat: Ds.Kumbo Kec. Sedan Kab. Rembang (RT: 09 RW: 05)
Tempat dan tanggal lahir: Rembang, 28 Oktober 1962
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Tanggal wawancara: Sabtu, 22 Juni 2013 (15:00 WIB)
Hasil wawancara: Tradisi ini berlangsung secara turun-temurun, tidak diketahui siapa yang mengajarkan, tetapi masyarakat percaya bahwa tradisi ini  baik, karena doa-doa yang dipanjatkan merupakan doa untuk kebaikan bersama, dan tidak semua orang mengikuti tradisi ini, karena yang tidak punya sapi maka tidak ikut membuat ketupat, dan biasanya diberi oleh tetangga dekat, sebagai wujud peduli masyarakat.

Nama: Siti
Alamat: Ds.Kumbo Kec. Sedan Kab. Rembang (RT: 10 RW: 05)
Tempat dan tanggal lahir: Rembang, 4 Desember 1955
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Tanggal wawancara: Selasa, 25 Juni 2013 (19:00 WIB)
Hasil wawancara: Tradisi ini dilakukan setelah panenan, karena sapi yang telah digunakan untuk membajak sawah perlu dihargai jasanya. Maka dari itu masyarakat tetap melestarikan tradisi ini, harapannya supaya sapi yang dimiliki sehat, selamat dan rizkinya barokah, serta masyarkatnya diberi keselamatan semua.




[1] Sebutan untuk pengambilan padi di sawah yang sudah siap di panen, dan biasanya dilakukan oleh beberapa orang secara gotong-royong dalam satu sawah.
[2] Hitungan pasaran Jawa yang dipercaya paling tinggi nilainya dan merupakan pasaran paling baik.
[3] Kegiatan rutinan di Masjid yang dilakukan orang-orang perempuan (muslimat) dengan membaca ayat suci Al-quran, solawat rosul dan mauidhoh (ceramah).