Rabu, 12 Juni 2013

Keraton Yogyakarta


SENI ARSITEK, ORNAMEN-ORNAMEN DAN FUNGSI BANGUNAN
KERATON YOGYAKARTA
MATA KULIAH MASYARAKAT DAN KAJIAN KESENIAN INDONESIA
Disusun oleh :
Septi Ayu Azizah    (13010112130095)                         Wahyu Puji Astutik     (13010112130086)
Mufidah                   (13010112130085)                         Shofi Fitria                  (13010112130066)  
Nurul Hidayah         (13010112130073)                         Noor Rohmah Z.         (13010112130084)                                                           
An Nisaa F.              (13010112130093)                         Mustaqim                    (13010112130094)
Erlina Tantika          (13010112130059)                         Chamid Alwi               (13010112130096)
 Nur Hayati              (13010112130077)                         Shahansyah                 (13010112130098)   
 
KEMENTERIAN PENDIDIKAN & KEBUDAYAAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS ILMU BUDAYA 2013


KATA PENGANTAR
            Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada sekalian makhluk-Nya. Selanjutnya Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan perjuangan dan kasih sayangnya membawa umat manusia menuju kehidupan yang memiliki peradaban. Penulis memanjatkan syukur yang sedalamnya karena telah menyelesaikan makalah sederhana berkaitan dengan mata kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia. Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan tentang seni arsitek bangunan kerajaan atau ornamen-ornamen, pembagian ruang dan fungsinya di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Namun, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan baik dalam penyajian teori bahkan dalam pemaparan analisis yang masih kurang mendalam. Karena Sejarah tentang suatu hal memang menjadi topik yang panjang untuk diperdebatkan. Membicarakan sejarah, berarti membicarakan berbagai pendapat orang menurut kacamatanya masing-masing mengenai sejarah itu sendiri dan tidak dapat berpatokan dari satu referensi saja. Sehingga, penulis berharap adanya sumbangan pemikiran atau tanggapan yang bersifat konstruktif demi kelengkapan dan kedalaman kajian selanjutya.
Demikian kami sampaikan ucapan terima kasih.



                                                                                               Semarang, 03 Juni 2013

                                                                                                            Penulis
           




BAB I
                                                PENDAHULUAN         
A.    Latar Belakang
Hal yang menjadi pemikiran dalam penulisan makalah ini yaitu banyaknya masyarakat Indonesia yang belum atau bahkan tidak mengetahui kebudayaan serta peninggalan nenek moyang yang ada di negaranya sendiri, salah satunya adalah yang ada di Yogyakarta. Padahal dalam setiap kebudayaan menyimpan banyak arti, sejarah masa lampau yang merupakan hal yang harus diingat sebagai acuan atau pegangan kaintannya dengan masa depan yang hendak dijalani.
Seperti halnya Keraton Yogyakarta yang menyimpan sejarah Bangsa Indonesia, setelah kita melihat dan mengkaji tentang Keraton Yogyakarta tentunya kita sedikit mengetahui apa saja yang ada di dalamnya, termasuk sejarah, bagian-bagian atau ruang keraton serta arti dari setiap bangunannya. Dikhawatirkan jika kebudayaan maupun peninggalan nenek moyang tersebut dibiarkan tanpa adanya kepedulian dari kita, maka banyak kemungkinan buruk yang nantinya akan merugikan kita. Jadi tidak ada salahnya jika kita ikut serta berkontribusi dalam hal mengetahui, menjaga serta melestarikannya.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yanh hendak dijawab dalam makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana Sejarah Keraton Yogyakarta?
2.      Seperti Apa Tata Ruang dan Arsitektur Keraton Yogyakarta?
3.      Apa saja bagian-bagian dan ruang Keraton Yogyakarta?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu yang pertama mengetahui sejarah kraton Yogyakarta sebagai peninggalan yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena itu merupakan aset bangsa Indonesia, kemudian menganalisis atau menjelaskan bagian tata ruang dari kraton Yogyakarta yang mempunyai arsiterktur begitu menarik dan mempunyai daya kreatif tersendiri, dan yang terakhir untuk mengatahui bagian-bagian yang ada di dalam kraton tersebut, karena setiap bagian mempunyai makna atau arti. Jadi dalam mata kuliah Masyarakat dan Kesinian Indonesia ini mengantarkan kita agar lebih mengetahui, menjaga serta melestarikan kebudayaan yang telah ada sebagai bukti bahwa kita ikut serta berpartisipasi dan berkontribusi dalam hal mengetahui, menjaga dan melestarikannya, karena apa yang kita miliki akan diakui bahkan diambil orang lain jika tidak dijaga dengan baik.

















BAB II
ISI
1.      Sejarah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta atau yang sering disebut dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terletak di jantung Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Indonesia dan merupakan pertengahan antara Laut Kidul dengan Gunung Merapi. Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati). Lokasi ini berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak, Kraton, dan Gunung Merapi. Keraton Yogyakarta ini merupakan kerajaan terakhir yang pernah berjaya di tanah  Jawa. Pada saat berakhirnya Kerajaan Hindu-Budha kemudian diteruskan oleh kerajaan Islam pertama di Demak, diteruskan berdirinya kerajaan seperti Mataram Islam yang didirikan oleh Sultan Agung lalu berjalan dan muncul Kerajaan Yogyakarta yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Sampai sekarang kraton itu masih berdiri kokoh yang menyimpan begitu banyak kebudayaan yang sangat mengagumkan.
Pada masa perkembangannya Keraton Yogyakarta banyak mengalami masa pasang surut dan terjadi perpecahan, yang paling dominan adalah Perjanjian Giyanti (1755) di mana pada masa itu kerajaan dibagi menjadi dua yaitu di wilayah Timur yang sekarang menjadi Keraton Surakarta dan di wilayah Barat yang disebut dengan Keraton Yogyakarta.
Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah Yogyakarta. Kemudian untuk menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangkubumi membangun sebuah istana pada tahun 1755 di wilayah Hutan Beringan. Tanah ini di nilai cukup baik karena di apit oleh dua sungai, sehingga terlindung dari kemungkinan banjir. Raja pertama di Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Lokasi kraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.
Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Adapun Raja-raja yang Berkuasa di Keraton Antara lain :
a.       Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono) pendiri sekaligus memimpin pada tahun 1755-1792
b.      Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memimpin pada tahun 1792-1812
c.       Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin pada tahun 1812-1814
d.      Sri Sultan Hamengku Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memimpin pada tahun 1814-1823
e.       Sri Sultan Hamengku Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah pada tahun 1823-1855
f.       Sri Sultan Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah pada tahun 1855-1877
g.      Sri Sultan Hamengku Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah pada tahun 1877-1921.
h.      Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah pada tahun 1921-1939
i.        Sri Sultan Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin pada tahun 1940-1988
j.        Sri Sultan Hamengku Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 hingga saat ini.
                                                                 

2.      Tata Ruang dan Arsitektur Keraton Yogyakarta
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultana Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai “arsitek” dari saudara Pakubuwono II Surakarta. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta, diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939). Keraton Yogyakarta yang berlatar belakang budaya Islam pada bangunannya banyak dijumpai unsur-unsur kebudayaan Hindu. Pola dasar pendiri an bangunan pada komplek Keraton Yogyakarta menggunakan unsur kebudayaan Hindu, ini tampaknya memang begitu menonjol di dalam proses akulturasi dengan kebudayaan yang sedang berkembang di Keraton Yogyakarta yang pada dasarnya bernafaskan Islam. Tata letak maupun pengelompokan bangunan pada komplek Keraton Yogyakarta mempunyai kesamaan dengan sistem yang digunakan pada komplek Keraton dari periode Hindu.
Bentuk-bentuk bangunan yang terdapat di komplek Keraton Yogyakarta mirip sekali dengan bentuk bangunan kontruksi kayu yang terdapat dalam relief candi, yang tentunya menggambarkan bangunan yang digunakan oleh masyarakat pada periode klasik. Beberapa hiasan dengan motif flora, fauna, ataupun alam banyak dijumpai pada  bangunan dalam komplek Keraton Yogyakarta, antara lain pada gapura,  atap bangunan, tiang, umpak, baturana dan sebagainya. Hiasan-hiasan tersebut merupakan pengisi bidang dan hiasan yang mempunyai arti tertentu. Oleh karena itu, jelaslah bahwa unsur-unsur kebudayaan Hindu masih tampak pada komplek bangunan Keraton Yogyakarta yang kemudian berakulturasi dengan kebudayaan yang sedang berkembang. 

Adapun bentuk fisik bangunan yang terdapat dalam komplek Keraton Yogyakarta sebagian besar menggambarkan bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian diantaranya menggunakan konstruksi kayu. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan atap tunggal (atap susun) yang berbentuk limasan, tajug, kampung (pelana) dan joglo. Bagian  tubuh bangunan ada dua bentuk, yaitu merupakan bangunan terbuka (tanpa dinding penutup ruangan)  dan merupakan bangunan yang menggunakan dinding penutup tubuh. Di dalam Keraton Yogyakarta terdapat banyak bangunan, halaman, dan lapangan. Komplek Keraton terletak di tengah-tengah, tetapi daerah Keraton membentang dari sungai Code sampai sungai Winanga, dari utara ke selatan, dari Tugu sampai Krapyak. 
Tujuh buah halaman yang terdapat dalam komplek Keraton disusun berderet dari utara dan selatan. Antara  halaman yang satu dengan halaman yang lain dipisahkan oleh dinding penyekat dan dihubungkan dengan pintu gerbang. Ketujuh buah halaman tersebut masing-masing berisi bangunan dan nama-nama halaman kebanyakan disesuaikan dengan nama bangunan yang terdapat didalamnya.
Adapun halaman yang terdapat  di Keraton Yogyakarta antara lain:
1.      Kompleks Inti

1)      Halaman siti hinggil utara
Kompleks Siti Hinggil ini digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi Kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Universitas Gadjah Mada.Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).

2)      Halaman kemandungan utara
Kompleks Kamandhungan utara sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae).



3)      Halaman Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.

4)      Halaman kemagangan
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan. Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.


5)      Halaman kemandungan selatan
kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang.


6)      Halaman Siti Hinggil Selatan
Siti Hinggil Selatan digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan) dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.
2.      Komplek Belakang

1) Alun-alun
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga, pakel, dan kuini. Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.
2). Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.
3. Bagian-bagian dari Ruang Keraton Yogyakarta
Arsitektur Keraton  Yogyakarta ialah Sri Sultan Hamengku Buwana I. Luas Keraton Yogyakarta 14.000m2  yang didalamnya terdapat banyak bangunan-bangunan, halaman, dan lapangan. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun jawa 1682, diperingati dengan sebuah condrosengkolo memet dipintu gerbang kemagangan dan pintu gerbang gadung mlati, berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa jawa “Dwi naga rasa tunggal artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=1, apabila dibaca dari belakang yaitu 1682. Dan naga tersebut berwarna hijau yang artinya symbol dari pengharapan, dan disebelah luar pintu gerbang itu diatas terdapat tebing tembok kanan dan kiri. Terdapat hiasan yang terdiri dari 2 ekor naga bersiap-siap untuk mempertahankan diri. Dalam bahasa jawa “Dwi naga rasa wani” yang berarti Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=1, apabila dibaca dari belakang menjadi tahun 1682. Tahunnya memang sama namun dekorasinya tidak sama, hal ini tergantung dari arsitektur, tujuan dan sudut yang dihiasinya.
Warna naga merah berarti symbol keberanian dan amarah, dihalaman kemagangan ini dahulu diadakan ujian bela diri memakai tombak antar calon prajurit kraton. Berikut adalah bagian dari keraton Yogya bagian utara: Kedaton/Prabayeksa, Bangsal Kencana, Regol Danapratapa (pintu gerbang), Sri Manganti, Regol Brimanganti (pintu gerbang), Bangsal Ponconiti (halaman kemandungan), Regol Brajanara (pintu gerbang), Siti Hinggil, Tarub Agung, Pagelaran (tiangnya berjumlah 64, angka tersebut mengambarkan usia Nabi Muhammad SAW. Dan tahun jawa), Alun-alun Utara (dihiasi dengan pohon beringin sebanyak 62, angka tersebut menunjuk pada tahun masehi), Pasar (Beringharjo) yang merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta pada zamannya. Berlokasi di sisi timur jalan Jend. A Yani, pasar Bering Harjo sampai saat ini menjadi salah satu pasar induk di Yogyakarta. Sekarang pasar ini jauh berbeda dengan aslinya. Bangunannya yang megah terdiri dari tiga lantai dan dibagi dalam dua sektor barat dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun demikian pasar yang berada tepat di utara benteng Vredeburg ini tetap menjadi sebuah pasar tradisional yang merakyat, selanjutnya Kapatihan, merupakan tempat kediaman resmi (Official residence) sekaligus kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro, dan yang terakhir Tugu.
Berikut bangunan-bangunan tempat dan halaman yang ada di keratonyang sebagian sudah dijelaskan di atas yaitu: Regol Kemagangan (pintu gerbang), Bangsal Kemagangan, Regol gadung lnlati (pintu gerbang), Siti Hinggil, Alun-alun Selatan, dan Krapyak.
Bangunan yang tedapat didalam kraton Yogyakarta memiliki arti dan fungsinya masing-masing di setiap arsitek bangunan-bangunannya, letak bngsal-bangsalnya, ukiran-ukiranya, hiasannya, hingga warna-warna gedungnya diantaranya ialah;
1.      Selogilang ialah lantai tinggi dalam sebuah bangsal semacam podium rendah, tempat duduk Sri Sultan atau tempat singgasana Sri Sultan.
2.      Tratag ialah bangunan, biasanya tempat berteduh, beratap anyaman-anyaman bambu dengan tiang-tiang tinggi, tanpa dinding dihiasi dengan pohon gayam yang daunnya rindang dan bunga-bunganya harum wangi menggambarkan rasa pemuda pemudi yang sedang dirindu cinta asmara.
3.      Krapyak adalah sebuah gambaran dari tempat asal roh-roh. Jalan lurus ke Utara kanan-kirinya dihiasi pohon asem dan tanjung yang menggambarkan kehidupan sang anak yang lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas,rupanya menarik dan istimewa bagi ayah dan ibunya.
4.      Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya yaitu pintu gerbang benteng menggambarkan batas periode sang anak menginjak ke masa remaja.
5.      Di alun-alun Selatan terdapat dua pohon beringin, bernama “wok” yang berasal dari kata “bewok”. Dua pohon beringin ditengah-tengah alun-alun menggambarkan bagian badan kita rahasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata.
6.      Sitihinggil ditengah-tengahnya dahulu ada pendoponya dan ditengah lantainya ada selo-gilangnya tempat singasana Sri Sultan mengambarkan pemuda pemudi yang saling berpasangan menghormati Sri Sultan dan pohon yang ditanam disekitarnya berupa pohon cempora serta soka yang mempunyai bunga yang halus panjang berkumpul menjadi satu ada yang merah dan yang putih menggambarkan bercampurnya benih manusia laki-laki dan perempuan.
7.      Bangsal Witono berarti “heningkanlah fikiran tuan” tempat pusaka-pusaka kraton pada saat upacara grebeg disaat Sri Sultan mulai bersemedi dibangsal manguntur tangkil.
8.      Bangsal Manguntur Tangkil adalah tempat yang tinggi untuk anangkil, yaitu untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa dengan cara mengheningkan cipta atau bersemedi.
9.      Tarub Hagung adalah bangunan yang berdiri atas empat tiang tinggi dari besi dan mempunyai bentuk empat persegi yang terletak di muka Tratag Sitingggil. Arti bangunan ini ialah tempat bersemedi dimana kita sujud kepada Tuhan YME., berada selalu dekat dengan keagungannya.
10.  Di halaman Sri Manganti ada sebuah bangsal lagi yang disebut Bangsal Traju Mas yang mengandung arti pandailah kita menimbang-nimbang mana yang betul dan yang salah, jangan sampai ingat dunia kemanusiawian.
11.  Gedung Purwaretno yang mempunyai arti kita harus selalu ingat kepada asal mula kita,gedung ini bertingkat tiga, gambaran dari Baitul Makmur, Baitul Mucharam, Baitul Muchaddas, memiliki empat jendela yang menggambarkan empat ketahuidan yaitu syari’at, tharikat, Chakekat dan Ma’rifat.
12.  Arca raksasa menggambarkan nafsu baik dan jahat pada setiap manusia.
13.  Bangsal Kencana adalah gambaran bersatunya kawula gusti yang merupakan bagian dari Regol Danapratapa.
14.  Halaman Kemandungan menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu didalamnya ditanami pohon kepel, pallem (mangga), cengkir gading serta jambu dersono. Pohon Pelem menggambarkan pada gelem atas kemauan bersama, Jambu Darsono menggambarkan kasih cinta satu sama lain, Pohon Kepel menggambarkan bersatunya benih, kemauan. Kemudian Pohon Kelapa ditanam di muka rumah berwarna kuning mengkilat daan bentuknya kecil dipakai untuk upacara tujuh bulanan sang bayi di kandungan.
15.  Regol Gadungmlati jalannya dibuat menyempit kemudian melebar dan terang benderang menggambarkan sang bayi telah lahir dengan selamat.
16.  Dapur Keraton Gebulen dan Sekullanggen digambarkan bahwa tersedia makanan yang cukup.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rentetan penjelasan yang panjang lebar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan terakhir yang pernah berjaya di tanah  Jawa, banyak sejarah yang tersimpan di dalamnya misalnya Perjanjian Giyanti (1755) di mana pada masa itu kerajaan dibagi menjadi dua yaitu di wilayah Timur yang sekarang menjadi Keraton Surakarta dan di wilayah Barat yang disebut dengan Keraton Yogyakarta.
Semua bangunan yang ada mengandung arti, bahkan apa yang ada di sekeliling keraton juga memiliki arti yang setidaknya telah kita ketahui setelah membaca penjelasan di atas, misalnya Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.
Keseluruhan bagian di atas telah dijelaskan pada bab sebelumnya, jadi masih banyak hal-hal di sekeliling kita yang seharusnya mendapat perhatian sekaligus apresiasi, suapaya apa telah ada tetap terjaga keberadaannya.



DAFTAR PUSTAKA
Brongtodiningrat. Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Keraton
Sumber : http://sepengatahuanku.blogspot.com/2013/01/sejarah-keraton-yogyakarta.html (Senin, 3 Juni 2013)
Sumber : http://id.shvoong.com/travel/destination/2176911-sejarah-keraton-yogyakarta/ (Senin, 3 Juni 2013)

file:///G:/Keraton%20Ngayogyakarta%20Hadiningrat%20%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm (Sabtu, 22 Mei 2013)
file:///G:/Keraton%20Yogyakarta%20%20%20Istana%20Budaya%20dan%20Keindahan%20Jawa%20_%20coretanpetualang%27s%20Blog.htm (Sabtu, 22 Mei 2013)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar